Antara The Matrix, Gua Platon dan Mentalitas Manusia Modern

-

Ada satu hal yang menarik dari film karya Wachowski bersaudara. Film ini seakan menunjukan kesamaan seperti keadaan cerita Gua Platonik ala Plato.

Dulu ketika masih semester tiga (di Sastra Unpad), saya pernah mendengar dari seorang dosen (mata kuliah umum fakultas) bercerita tentang sepenggal epilog filsuf besar Yunani, Plato. Orang-orang sering menyebut cerita tersebut dengan Gua Platonik.

Menceritakan sebuah gua yang di dalamnya memiliki perapian dan terdapat para tahanan yang diikat rantai. Mereka duduk membelakangi perapian tersebut dan hanya bisa melihat bayangan yang dipantulkan oleh cahaya dari perapian tersebut. Para tahanan ini hanya bisa melihat ke satu arah yaitu ke dinding yang terdapat bayangan tersebut.

Mereka pun memberikan setiap interpretasi dalam bayangan tersebut dan satunya yang mereka percaya adalah bayangan tersebut.

Tahanan yang berada dalam gua selalu melihat bayangan di depan dinding gua tanpa pernah mengetahui apa yang sebenarnya sedang terjadi di belakang mereka.

Mereka tidak akan pernah mencoba untuk keluar dari gua tersebut karena sangat yakin dan percaya gua yang mereka tinggali adalah tempat yang memang satu-satunya tempat yang bisa mereka tinggali, dan percaya tidak ada realita baru di luar gua tersebut.

Lalu datang seorang dari luar gua yang menawarkan pembebasan, dan salah satu tahanan dalam gua tersebut. Seketika tahanan itu sadar apa yang telah terjadi selama ini. Ternyata bayangan ia lihat selama ini adalah bayangan yang telah dikendalikan oleh seorang dalang. Kemudian sang tahanan beranjak ke luar gua, dan betapa kagetnya ia begitu banyak hal (object) yang baru pertama kali ia liat.

 You ever have that feeling where you’re not sure if you’re awake or still dreaming?

NEO

Di film The Matrix, Neo sang karakter utama adalah seorang programmer di salah satu perusahaan software. Ia menjalani kehidupan yang biasa-biasa dengan rutinitas membosankan. Tiba-tiba nasibnya berubah ketika seorang Morpheus datang dan menawarkan pembebasan. Dari titik tersebut itulah film ini bergulir bla..bla..bla…

Neo merasakan hal tersebut berusaha mempertanyakan kehidupan walau hanya dalam pikirannya saja. Ketika Morpheus datang, Neo sedikit ragu tentang Morpheous dan momen penting pun terjadi ketika Neo memilih jalan untuk mencari tahu kebenaran.

Neo sadar bahwa kehidupan yang dijalankan selama ini adalah hasil dari Virtual Reality mesin komputer semata.

Plato menggunakan perumpamaan tentang manusia yang hidup dalam gua yang melihat dunia secara keseluruhan hanya lewat bayangan yang terpantulkan pada dinding gua.

Plato memaknai manusia sering tenggelam di dalam realita kehidupan yang palsu yang telah terbentuk sebelumnya. mereka seakan-akan tidak mau melihat (mencari) sebenarnya ada realita lain dibalik bayangan-bayangan di dalam gua tersebut (yaitu di luar gua).

Realita lain tersebut hanya dapat ditemukan oleh mereka yang benar-benar mencoba mencarinya dan menembus rantai realita yang selama bertahun-tahun mengurung mereka.

Mereka telah hidup puluhan tahun dalam gua mereka (zona nyaman) sendiri dan tidak mau mengalami keterpurukan atau ketakutan untuk bergerak keluar dan melihat apa yang sebenarnya sedang terjadi di luar sana.

Masyarakat modern pun tidak lepas dari perbudakan logika seperti ini. Mereka seolah-olah menerima berbagai macam dongma yang sebenarnya bisa mereka balik pertanyakan. Tapi kebanyakan dari mereka lebih memilih zona nyaman masing-masing.

Saat mereka dihadapkan dengan sudut pandang yang baru, mereka mencoba melindungi diri mereka jika sesuatu yang baru tersebut tidak relevan dengan apa yang mereka pelajari selama ini.

Memang tidak salah untuk tetap milih zona nyaman tersebut, itu hak setiap individu. Memilih keluar zona nyaman.

Contoh tataran sosial masyarakat bisa kita lihat. ketika Ahok pertama kali memimpin DKI Jakarta (baik sebagai wakil gubernur maupun fulltime Gubernur), banyak penolakan yang dilakukan oleh warga kota Jakarta.

Alasannya pun sepele, Ahok itu keturunan Cina atau non-muslim pula dan sebagainya. Pandangan mereka terhadap soal kepemimpinan dipicu oleh sabda-sabda para pemuka agama yang mengatakan orang kafir tidak mampu dan PANTAS memimpin.

Walhasil postingan berbau sara pun tumbuh subur layaknya jamur pada musim hujan di media sosial. Tentu saja isinya kebanyakan berisi fitnah dan hoax.

Ditambah lagi perangai Sang Gubernur baru yang blak-blak kan dan tegas luar biasa. Ini malah membuat rakyat yang tadinya “seenak udel” saja, jadi kesal karena berbagai macam peraturan baru yang mencekik kebiasaan destruktif masyarakat sendiri.

Setelah beberapa bulan menjabat, beliau berhasil membawa cukup perubahan pada kota yang di tangan gubernur sebelum hancur lebur. Sedikit demi sedikit mereka berhasil membuktikan kapasitasnya sebagai pemimpin.

Banyak sekali orang yang mengeluh soal apa sudah terjadi dalam hidup mereka, mereka seolah menyalahkan dunia yang tidak adil. mereka berpikir dunia ini tidak diciptakan untuk mereka. Setiap kali mereka mengeluh, tidak ada aksi konkrit yang mereka lakukan mengatasi masalah selain mengeluh.

Ketika disuruh bertindak, banyak alasan yang keluar dari orang (merasa) pinter ini.

Manusia yang dibekali akal pikiran pasti mampu mencari penyelesaian tiap problem yang relevan bagi diri mereka sendiri terlepas dari tepat atau tidaknya pilihan tersebut.

Alasan yang ada di kepala manusia malah tidak membawa kemajuan sama sekali dalam kehidupan mereka. Asumis (berpikir terlalu banyak) dikepala tersebut malah semakin membuat manusia ragu untuk melangkah maju. Mereka merasa terlalu pintar dan selalu mengeluarkan alasan yang dirasionalisasikan karena takut mencoba sesuatu yang baru.

Saya ataupun Anda pasti pernah mengalami kemandekan dalam hidup. Tapi yang membedakan tiap individu manusia adalah keinginannya untuk mengubah keadaan.

Beberapa tahun lalu saya tidak mengerti banyak hal (dalam artian sebenarnya).

Akan tetapi saya berusaha mengubah keadaan yang statis tersebut dengan cara mencoba sesuatu yang baru dan tidak pernah saya coba sebelumnya. Mencoba segala kegiatan yang diluar zona nyaman.

Mulai dari belajar desain grafik, belajar membuat film pendek sampai menjadi volunteer di berbagai acara (klik disini).

Itu memberikan pengaruh positif bagi diri saya sendiri. Walaupun belum bagus-bagus amat tapi setidaknya saya berani mencoba keluar dari zona nyaman dan mendapatkan sesuatu yang tidak saya sangka sebelumnya.

Dampaknya malah membuat saya semakin menggebu-gebu dalam mempelajari banyak hal.

At least, saya tidak banyak menggerutu (lagi) dan bisa melihat sesuatu jauh lebih positif dari sebelumnya.

Jika selama ini alasan-alasan yang berputar di kepala Anda tidak membawa Anda selangkah lebih maju dalam dunia dan malah membawa Anda semakin jauh, maka saatnya Anda berhenti mendengarkan alasan-alasan tersebut dan lakukan apa yang selama ini Anda tunda-tunda. Jangan lagi menjadi Pria yang selalu pintar mengeluarkan alasan saja.

Btw saran saya, cari kegiatan yang benar-benar punya benefit bagi diri Anda sendiri.

Kegagalan adalah hal yang lumrah ketika kita pertama kali melangkah layaknya bayi yang baru belajar melangkah. Tidak ada didunia ini yang menjalani proses semulus paha personil girlband Korea.

Di dunia ini juga tidak ada yang peduli pilihan yang Anda ambil benar atau salah.

So… klo Anda sudah memikirkan apa yang ada inginkan, bagaimana cara mencapainya atau tahu konsekuensi yang Anda dapatkan.

JUST DO IT!

Jangan biarkan diri Anda disabotase pikiran yang berlebihan.

Reference :

Yesaya Sandang — Menembus Selubung Teknologi

Originally published at didinofendra.wordpress.com on August 10, 2016.

Share this article

Recent posts

Google search engine

Popular categories

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Recent comments